
Dari tahun ke tahun, setiap 14 Februari, muda-mudi Indonesia (yang mayoritasnya muslim) semakin bergairah merayakan “Hari Valentin” ini sebagai hari kasih-sayang. Padahal, sejumlah aktivis dakwah semakin gencar menyuarakan seruan keras: “perayaan Valentine’s Day itu haram, budaya Barat jahiliyah yang merusak Islam, harus dijauhi, jangan ikut-ikutan,” dan sebagainya. Namun, bagi banyak muda-mudi Islam Indonesia, seruan semacam itu bagai “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.
Mengapa begitu? Salah satu diantara sebab-sebabnya barangkali adalah lantaran generasi orangtua (seperti diriku) telah memberi contoh yang kurang baik. Diantaranya: membudayakan korupsi, menyuburkan materialisme, mengakali hukum negara, melecehkan fatwa MUI, dan sebagainya. Diantara sebab-sebab semakin membudayanya perayaan Hari Valentin, yang paling mendasar menurutku adalah gagalnya kita (orangtua & aktivis dakwah) dalam memenuhi kebutuhan muda-mudi kita yang gemar merayakan hari kasih sayang setiap 14 Februari itu.
Kebutuhan mereka yang manakah yang kurang kita penuhi, sehingga mereka getol merayakan Hari Valentine? Kebutuhan akan kasih-sayang! Siang-malam, kita keasyikan berburu rezeki, mengurus ini-itu… tapi kurang menaruh perhatian kepada mereka. Ketika “menaruh perhatian besar” pun, kita suka membuka mulut dan enggan membuka telinga. Akibatnya, mereka kekurangan kasih-sayang dari kita.
Dalam keadaan haus akan kasih-sayang itu, mereka tidak menuntut kita untuk memberi kasih sayang yang lebih mendalam dari kita. Mereka berusaha sendiri memenuhi kebutuhan mereka ini. Caranya, antara lain, dengan merayakan Hari Valentine setiap tahun, yang jatuh pada 14 Februari.
Dalam keadaan begitu, apakah kita (terutama aktivis dakwah) menghargai usaha mereka? Tampaknya tidak. Kita mati-matian mencela budaya mereka ini dan menjejali telinga mereka dengan seruan-seruan keras yang jauh dari kasih sayang. Akibatnya, kebutuhan mereka akan kasih sayang itu semakin kurang terpenuhi. Walhasil, semakin terdoronglah mereka untuk berburu kasih-sayang dari luar diri kita, diantaranya melalui perayaan Hari Valentine.
Dalam keadaan yang “mengharukan” (baca: memprihatinkan) ini, apa yang dapat kulakukan selaku orangtua & aktivis dakwah? Kupikir, sebaiknya aku sampaikan seruan dengan penuh kasih-sayang. Kepada sesama orangtua dan sesama aktivis dakwah, aku mengajak, marilah kita bersikap lebih penyayang terhadap anak-anak kita dan adik-adik kita. Kepada anak-anak dan adik-adik kita, aku berseru: Rayakan Hari Kasih-Sayang secara Islami!
Bagaimanakah cara merayakan Hari Kasih Sayang yang islami? Bagaimana, ya? Ini merupakan wilayah ijtihad. Alangkah besarnya harapanku bahwa MUI atau ulama-ulama berkompeten lainnya memberi bimbingan mengenai bagaimana caranya. Yang dapat kulakukan kini hanyalah menyampaikan beberapa usulan, antara lain sebagai berikut.
* Bagi yang merayakannya, pilihlah nama selain Valentine atau pun lambang-lambang non-islami lainnya. Misalnya: Hari Rahman-Rahim. (Istilah ini diambil dari ayat pertama al-Fatihah: Bismillaahir rahmaanir rahiim. Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.)
* Supaya tidak terperosok ke jurang bid’ah atau pun menyerupai tradisi pemeluk agama lain, biarlah masing-masing “menetapkan” (baca: membiasakan) sendiri hari kasih-sayangnya sesuai kebutuhan masing-masing. Mau setiap seperempat abad? Setiap tahun? Setiap bulan? Setiap pekan? Silakan. Mau tanggal berapa, bulan apa, hari apa, silakan pilih sesuai dengan kebutuhan. Singkatnya, hari kasih-sayang itu tidak harus 14 Februari.
* Supaya hari kasih-sayang itu tidak menjadi ajang untuk mendekati zina atau memunculkan fitnah, kita (orangtua & aktivis dakwah) perlu melakukan pengawasan yang secukupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar